Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia

Judul: Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia
Penulis: Martin Van Bruinessen
Penerbit: Gading Publishing
Tebal: 626 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong

Inilah mungkin buku pertama yang relatif lengkap dan mendalam memperlihatkan _ meminjam istilah Abdurrahman Wahid dalam pengantar _ sebuah pengenalan yang unik akan respons adaptif dan kreatif para ulama terhadap tantangan modernisasi yang dibawa peradaban modern dalam dua abad terakhir. Dan Martin van Bruinessen berusaha menggali akar-akar tradisi Islam Indonesia ini, kemudian menggambarkan pasang surut kesinambungannya hingga kini.

Menurut sarjana kelahiran Belanda ini, pesantren ternyata sebuah paradoks. Di satu sisi, dialah lembaga yang secara kuat berakar pada tradisi Indonesia. Tapi di sisi lain, ia berorientasi internasional dengan Mekah sebagai pusat orientasi. Pesantren memang dapat dipandang sebagai lembaga tradisional khas Indonesia. Lembaga inilah yang secara tradisional melakukan substansiasi berbagai bentuk tradisi yang oleh kalangan modernis dipandang heterodoks (bidah). Pada saat yang sama, pesantren pula terutama yang mewarisi, mengembang- kan, dan menularkan khazanah keilmuan Islam klasik, khususnya melalui kitab kuning.

Tradisi kitab kuning ternyata mirip sebuah keluarga. Satu kitab _ yang memiliki prestise cukup besar _ melahirkan beberapa versi kitab komentar (syarah), catatan (hasyiah), atau resume (mukhtashar), yang kemudian melahirkan beberapa versi komentar, catatan, resume, atau terjemahan pula. Uniknya lagi, hal ini mirip belaka dengan pertalian genealogis antarulama pimpinan pesantren.

Di abad ke-19, L.W.C. van den Berg memang telah menunjukkan sejumlah kitab kuning yang dipakai secara luas di pesantren. Melalui intensitas pencarian ilmiah yang sangat menarik, Martin menunjukkan bahwa dalam perkembangannya sekarang sebagian kitab kuning yang dulu dipakai secara luas di pesantren _ seperti ditunjukkan van den Berg _ kini tak digunakan lagi, atau sebaliknya.

Kecuali itu, van den Berg tak mencatat kitab-kitab tentang wahdat al-wujud, sebuah tema tasawuf yang diperdebatkan secara keras di Semenanjung Malaya, sekitar abad ke-17. Dan memang, hingga sekarang pun Martin tak menemukan kitab yang sama di pesantren, meskipun mungkin diajarkan juga khususnya pada "elite santri" dalam jumlah yang sangat terbatas. Untuk sebagian, hal ini agak mengherankan, sebab spekulasi metafisis justru merupakan salah satu kegemaran intelektual ulama klasik seperti Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdus-Shamad Al-Falimbani, dan Syaikh Yusuf Makasar.

Mungkin, perdebatan yang sangat mencekam antara Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniri di sekitar paham wahdat al-wujud, yang berakhir dengan "kekalahan" Sumatrani, menimbulkan trauma teologis di dunia pesantren. Meskipun paham ini tetap dianut oleh sebagian ulama kemudian, seperti Falimbani, "kekalahan" Sumatrani seolah menjadi momentum bagi meredupnya sisi in- telektual spekulasi metafisis tasawuf itu sendiri.

Dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya yang terkenal, Tradisi Pesantren (1982), di pesantren tampaknya terjadi semacam polarisasi tasawuf dan tarekat. Di situ, tasawuf lebih dipahami sebagai spekulasi in- telektual. Dan itu tak lebih penting daripada batasan moral dan praktek ritual, khususnya seperti diajarkan tarekat. Itu sebab- nya, pesantren akhirnya lebih merupakan lembaga pengembangan tarekat ketimbang pengembangan spekulasi tasawuf. Kemungkinan ini berlangsung seiring dengan, atau diperkuat oleh, makin dom- inannya ilmu fikih di pesantren.

Alih-alih mempelajari aspek intelektual yang sangat spekulatif seperti paham wahdat al-wujud, dalam mewarisi kitab kuning pesantren tampaknya bersifat pragmatis juga. Lebih-lebih dalam mengembangkan tarekat. Dan itu mungkin merupakan respons terhadap tuntutan riil sosio-historis yang memang mendesak. Khususnya dalam tarekat, orientasi pragmatis itu bahkan hampir- hampir tak ada hubunganya lagi dengan agama, ketika tarekat berkembang menjadi debus, ilmu kekebalan, yang memang banyak dituntut masyarakat untuk melawan penjajah. Dan memang, tarekat akhirnya membentuk jaringan sosial yang memiliki potensi politik. Karena itu, di zaman kolonial tarekat dipandang sebagai fanatisme agama yang mengancam politik penjajah. Jaringan sosial yang kuat dan luas yang didukung ketundukan para murid kepada syaikh (guru) mereka, membuat tarekat memiliki posisi tawar-menawar yang relatif kuat.

Tapi kini, kalau masih ada yang menjanjikan dari tarekat, tampaknya hal itu bukan lagi daya pukaunya karena terlibat dalam hiruk pikuk sosial politik. Tapi lebih karena terjadinya perubahan sosial yang ditandai dengan memudarnya ikatan sosial tradisional yang menimbulkan kekosongan emosional dan moral. Inilah tampaknya, kata Martin, faktor utama merebaknya tarekat, baik di kota maupun desa, dewasa ini. Sayang, Martin tak menun- jukkan apakah pesantren akan terus-menerus mengisi kekosongan emosional dan moral ini dengan praktek ritual tarekat, sementara tak terbersit kemungkinan mengisi kekosongan in- telektual yang bersifat spekulatif, seperti paham wahdat al- wujud, yang telah berlangsung ratusan tahun di pesantren.

Jamal D. Rahman
Redaktur Islamika dan Horison