Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel

Judul: Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel
Penulis: M. Musthafa
Penerbit: LKiS, 2013
Tebal: 352 halaman


Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi manusia, yang bisa disetarakan dengan kebutuhan untuk makan (pangan), berpakaian (sandang), dan bertempat tinggal (papan). Karena itu, pendidikan wajib dijalani oleh seluruh masyarakat dari semua lapisan. Begitu pula, negara harus mampu berperan aktif dalam pelayanan dan penyediaan fasilitas pendidikan formal dengan baik.

Sekolah menjadi idealisme sebuah pendidikan nasional dan merupakan wujud dari peran negara dalam memfasilitasi masyarakat untuk mengenyam pendidikan formal. Karena itu, sekolah menjadi tumpuan bangsa dalam mengembangkan, menciptakan, dan melahirkan sumber daya manusia yang baik dan berintegritas.

Namun sekolah kini cenderung mengarah pada pola cepat saji (pragmatisme) karena merujuk pada kepentingan industri, dipenuhi dengan berbagai intrik politik yang dilakukan oleh para elite, dan justru kurang peduli dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Demikianlah yang diungkapkan oleh M. Musthafa dalam bukunya, Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel.

Buku ini banyak menguraikan problematika pendidikan dan potret sekolah, terutama persoalan pragmatisme tadi. Karena berbagai kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, tidak dapat terbantahkan lagi bahwa masyarakat beserta gaya hidup mereka pun harus mengalir mengikuti arus tersebut. Sementara itu, modernisasi yang ditandai dengan kemajuan inilah yang mengubah wajah pendidikan nasional hingga terseret arus pragmatisme.

Seharusnya, modernisasi mengarah pada kemajuan pendidikan. Tapi masyarakat justru terlena pada kemajuan sehingga pendidikan diabaikan dan lebih memilih gaya hidup hedonis. Dengan demikian, nilai-nilai dari esensi pendidikan tidak terserap dengan baik. Mereka, para peserta didik, lebih memilih bermain teknologi dengan Google daripada serius menganalisis materi pelajaran atau mata kuliah.

Akhirnya, masyarakat pun justru terseret ke dalam tradisi asing (globalisasi) yang bersifat negatif, yang dengan mudah masuk melalui sendi-sendi kehidupan yang dimediasi oleh Google cs. Terseret pada arus global telah menjadi pilihan yang salah. Terlebih lagi jika nilai-nilai negatif justru mengalahkan khazanah nilai-nilai lokal yang agung nan luhur.

Pola cepat saji dan pragmatisme juga dialami oleh sekolah dan para peserta didiknya ketika menghadapi ujian nasional (UN). Para peserta didik berbondong-bondong mendaftarkan diri pada lembaga-lembaga bimbingan belajar (bimbel) di luar sekolah. Padahal, keberadaan lembaga-lembaga bimbel tersebut justru mereduksi peranan sekolah.

Peserta didik dan masyarakat justru lebih percaya pada lembaga-lembaga bimbel yang menyediakan berbagai butir soal untuk persiapan menghadapi ujian. Jika sekolah merupakan lembaga pendidikan yang utama, seharusnya mereka percaya bahwa sekolah telah cukup untuk memberikan materi. Kenyataannya, mereka tidak puas dan tidak percaya dengan sekolah. Ini merupakan kritik tajam bagi sekolah, dan harus cepat-cepat berbenah.

Kritik terhadap metode pembelajaran dan pengajaran di sekolah memang tidak hanya sebatas ketidakpercayaan dan ketidakpuasan para peserta didik. Masih banyak hal lagi yang perlu dikoreksi dan dievaluasi. Salah satunya adalah pemenjaraan otak kanan. Sebagaimana jamak diketahui, otak kiri berurusan dengan logika, angka, urutan, pola pikir linear, dan semacamnya. Sementara itu, otak kanan berkaitan dengan imajinasi, kesadaran holistik, kesadaran seni, warna, dan sebagainya.

Penyajian bahan pembelajaran dan cara pencatatan yang kering dan kaku selama ini pada tingkat tertentu di sekolah telah cukup berhasil memenjarakan otak kanan. Akibatnya, sisi kreatif peserta didik kurang menemukan tempat untuk berkembang (halaman 81). Pemenjaraan otak kanan itu pula yang, bisa jadi, memicu pola pikir instan pada peserta didik sehingga memacu membudayanya pragmatisme. Ini harus mendapatkan perhatian dari seluruh elemen masyarakat dari peserta didik, orangtua, hingga stakeholder (pemerintah-negara).

Buku ini mengajak para pembaca untuk lebih kritis dalam menyoroti realitas pendidikan di sekolah yang ada sekarang. Pola pragmatisme atau budaya cepat saji, yang telah menjadi virus pada pendidikan sekolah di negeri ini, telah bermetamorfosis menjadi racun yang mematikan.

Supriyadi
Pengamat sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta